Analisis Perlindungan Hukum Hak Tersangka Dan Potensi Pelanggarannya Pada Penyidikan Perkara Pidana
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal
27 ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi ”segala warga Negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Suatu negara hukum menurut Friedrich Julius Stahl dalam bukunya Jimly Asshiddiqie yang berjudul, ”Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia”, harus memiliki empat unsur pokok, yaitu :
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Suatu negara hukum menurut Friedrich Julius Stahl dalam bukunya Jimly Asshiddiqie yang berjudul, ”Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia”, harus memiliki empat unsur pokok, yaitu :
a) pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia;
b) negara didasarkan pada teori trias politica;
c) pemerintahan didasarkan pada undang-undang (wetmatig
bestuur);
d) ada peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus
perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad)
(Jimly Asshiddiqie, 2006 : 152).
Menurut Sri Soemantri negara hukum harus memenuhi unsur, yaitu :
a) pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus
berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;
b) adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
c) adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
d) adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (Sri Soemantri,
1992 : 29).
Sedangkan menurut Philipus M. Hadjon negara hukum (rechtstaat),
terdapat ciri-ciri sebagai berikut :
a) adanya Undang-Undang
Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara
penguasa dan rakyat;
b) adanya pembagian kekuasaan;
c) diakuinya dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat (Philipus
M. Hadjon, 1987 : 76).
Atas dasar ciri-ciri negara
hukum yang dikemukakan oleh beberapa para pakar hukum tersebut menunjukkan
bahwa adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang
bertumpu pada prinsip kebebasan dan persamaan di depan hukum (equality
before the law). Hukum dengan tegas telah mengatur perbuatan-perbuatan
manusia yang bersifat lahiriyah, dan hukum mempunyai sifat untuk menciptakan keseimbangan
antara kepentingan para warga masyarakat. Dengan demikian hukum mempunyai sifat
memaksa dan mengikat, walaupun unsur paksaan bukanlah merupakan unsur yang
terpenting dalam hukum, sebab tidak semua perbuatan atau larangan dapat
dipaksakan. Dalam hal ini, memaksakan diartikan sebagai suatu perintah yang ada
sanksinya apabila tidak ditaati, dan sanksi tersebut berwujud sebagai suatu
penderitaan yang dapat memberikan penjeraan bagi si pelanggar hukum. Hukum
merupakan suatu norma/kaidah yang memuat aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan
yang menjamin hak dan kewajiban perorangan maupun masyarakat. Dengan adanya
hukum dimaksudkan untuk menciptakan keselarasan hidup bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
Memelihara keselarasan hidup di dalam masyarakat memerlukan
berbagai macam aturan sebagai pedoman hubungan kepentingan perorangan maupun
kepentingan dalam masyarakat. Akan tetapi tidak sedikit hubungan kepentingan
itu mengakibatkan pertentangan, dalam hal ini yang berhubungan atau dalam
lingkup hukum pidana. Oleh karena itu diperlukan suatu hukum acara pidana yang
menjadi saluran untuk menyelesaikan kepentingan apabila terjadi perbuatan
melawan hukum yang diatur dalam hukum pidana. (Bambang Poernomo, 1988: 1-3).
Negara Indonesia, dalam menjalankan kehidupan bernegara, memerlukan adanya
hukum untuk mengatur kehidupan masyarakat, sehingga segala bentuk kejahatan
dapat diselesaikan dengan seadil-adilnya. Dengan adanya hukum dapat
menghindarkan pelanggaran yang dapat dilakukan oleh masyarakat ataupun penegak
hukum itu sendiri. Untuk itu diperlukan adanya kaidah-kaidah hukum yang dapat
dipergunakan oleh negara Indonesia dalam mengatur tatanan kehidupan dalam
masyarakat. Pengembangan hukum diarahkan pada terwujudnya sistem hukum nasional
yang bisa mengakomodasi tuntutan reformasi, hukum agama dan hukum adat serta
memperbaharui undang-undang warisan kolonial dan hukum nasional yang
diskriminatif melalui program legislasi. Pengembangan hukum dilaksanakan
melalui penegakan supremasi hukum dengan tetap memperhatikan kemajemukan tata
hukum yang berlaku, yang mencakup upaya kesadaran hukum, kepastian hukum,
perlindungan hukum, penegakan hukum, dan pelayanan hukum yang berintikan
kebenaran, dan keadilan dalam rangka penyelenggaraan pembangunan negara yang
semakin tertib, teratur, dan lancar. Penyelenggaraan proses peradilan yang
cepat, mudah, murah, terbuka, bebas: korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi
bagian intern budaya hukum Indonesia. Perwujudan terhadap adanya kepastian
hukum, dan keadilan telah menimbulkan bentuk-bentuk hukum pidana yang
dirumuskan dalam suatu undang-undang maupun kitab undang-undang (kodifikasi).
Bentuk-bentuk kodifikasi hukum pidana Indonesia telah dirumuskan secara
materiil dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan secara formil dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hukum Acara Pidana Indonesia
telah dituangkan ke dalam bentuk undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) merupakan ketentuan norma hukum acara pidana yang dirumuskan secara
tertulis, yang disusun atas dasar nilai-nilai, dan asas-asas hukum yang
bersifat umum guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Asas-asas hukum pidana
mengalami pertumbuhan, dan perkembangan sesuai dengan perubahan, dan
perkembangan dalam masyarakat. Pertumbuhan asas-asas umum hukum acara pidana
sangat dipengaruhi oleh kebutuhan asas-asas khusus acara pidana dari hukum
penyimpangan yang bersifat dinamis. Perlindungan dan penghormatan terhadap hak
asasi manusia merupakan pilar utama dalam setiap negara hukum, jika dalam suatu
negara hak manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan
yang ditimbulkan tidak dapat diatasi secara adil maka negara yang bersangkutan
tidak dapat disebut sebagai negara hukum dalam arti yang sesungguhnya. Dalam
melindungi hak warga negara dan menciptakan proses hukum yang adil mencakup
sekurang-kurangnya :
a) Perlindungan dari tindakan sewenang-wenang dari pejabat negara;
b) Pengadilan yang berhak menentukan salah tidaknya
tersangka/terdakwa;
c) Sidang Pengadilan harus terbuka untuk umum (tidak boleh
bersifat rahasia);
d) Tersangka dan terdakwa harus diberikan jaminan-jaminan untuk
dapat membela diri sepenuhnya (Mien Rukmini, 2003 : 32).
Untuk memberikan perlindungan hukum terhadap seorang tersangka
maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana harus
direalisasikan, khususnya didalam penyidikan perkara pidana, khusus pada tahap
interogasi sering terjadi tindakan sewenang-wenang dari penyidik terhadap tersangka
yang diduga melakukan tindak pidana. Tindakan ini dilakukan sebagai upaya untuk
mendapatkan pengakuan atau keterangan langsung dari tersangka, namun cara-cara
yang dilakukan seringkali tidak dapat dibenarkan secara hukum. Tersangka dalam
memberikan keterangan kepada penyidik harus secara bebas tanpa adanya tekanan
atau paksaan dari penyidik sehingga pemeriksaan dapat tercapai tanpa menyimpang
dari yang sebenarnya. Pada tingkat pemeriksaan, penyidik hanyalah mencatat
keterangan yang diberikan tersangka tanpa harus melakukan tindakan paksa agar
tersangka memberikan keterangan yang dibutuhkan. Cara-cara kekerasan menurut
ketentuan KUHAP tidak dapat dibenarkan karena merupakan tindakan yang melanggar
hukum. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana telah
memberikan jaminan hukum atas diri tersangka guna mendapat perlindungan atas
hak-haknya dan mendapat perlakuan yang adil didepan hukum, pembuktian salah
atau tidaknya seorang tersangka atau terdakwa harus dilakukan didepan sidang
Pengadilan yang terbuka untuk umum. Oleh karena itu Wirjono Prodjodikoro
berpendapat, bahwa kepentingan hukum dari individu dalam hal ini adalah pihak
yang memperoleh tindakan penangkapan serta penahanan atas tersangka harus
diperhatikan serta harus dilindungi, jangan sampai mendapat tindakan
sewenang-wenang dari petugas penegak hukum (Wirjono Prodjodikoro, 1982 : 47).
Berkaitan dengan uraian seperti yang dikemukakan diatas maka penulis tertarik
untuk mengadakan penelitian hukum dengan judul : ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM
HAK TERSANGKA DAN POTENSI PELANGGARANNYA PADA PENYIDIKAN PERKARA PIDANA.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perlindungan hukum hak tersangka pada penyidikan
perkara pidana?
2. Bagaimana potensi pelanggaran hukum hak tersangka pada
penyidikan perkara pidana?
0 comments:
Post a Comment