Friday 19 December 2014

SEJARAH LAHIRNYA HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN


                Perkembangan ekonomi yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Barang dan/atau jasa tersebut pada umumnya merupakan barang dan/atau jasa yang sejenis maupun yang bersifat komplementer satu terhadap yang lainnya. Bervariasinya produk yang semakin luasnya dan dengan dukungan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, jelas terjadi perluasanruanggerakarustransaksi barang dan/atau jasa yang ditawarkan secara variatif, baik yang berasal dari produksi domestik maupun yang berasal dari luar negeri.Hukum Perlindungan Konsumen merupakan cabang hukum yang bercorak Universal. Sebagian besar perangkatnya diwarnai hukum asing, namun kalau dilihat dari hukum positif yang sudah ada di Indonesia ternyata dasar-dasar yang menopang sudah ada sejak dulu termasuk hukum adat.
Fokus gerakan perlindungan konsumen (konsumerisme) dewasa ini sebenarnya masih pararel dengan gerakan-gerakan pertengahan abad ke-20.
               Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang secara populer dipandang sebagai perintis advokasi konsumen di Indonesia berdiri pada kurun waktu itu, yakni 11 Mei 1973. Gerakan di Indonesia ini cukup responsive terhadap keadaan, bahkan mendahului Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC) No. 2111 Tahun 1978 Tentang Perlindungan Konsumen. Setelah YLKI kemudian muncul organisasi-organisasi serupa, antara lain Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang tahun 1985, Yayasan Bina Lembaga KonsumenIndonesia(YBLKI)diBandung dan beberapa perwakilan di berbagai propinsi tanah air. Keberadaan YLKI sangat membantu dalam upaya peningkatan kesadaran akan hak-hak konsumen karena lembaga ini tidak hanya sekedar melakukan penelitian atau pengujian, penerbitan dan menerima pengaduan, tapi juga sekaligus mengadakan upaya advokasi langsung melalui jalur pengadilan.

         YLKI bersama dengan BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) membentuk Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Namun Rancangan Undang-Undang ini ternyata belum dapat memberi hasil, sebab pemerintah mengkhawatirkan bahwa dengan lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Pada awal tahun 1990-an, kembali diusahakan lahirnya Undang-undang yang mengatur mengenai perlindungan konsumen. Salah satu ciri pada masa ini adalah pemerintah dalam hal ini Departemen Perdagangan sudah memiliki kesadaran tentang arti penting adanya Undang-undang Perlindungan Konsumen.

 Hal ini diwujudkan dalam dua naskah Rancangan Undang-undang Perlindungan Konsumen, yaitu yang pertama adalah hasil kerjasama dengan fakultas Hukum Universitas Gajah Mada dan yang kedua adalah hasil kerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.Tetapi hasilnya sama saja, kedua naskah Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut tidak dibahas di DPR.
             Pada akhir tahun 1990-an, Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak hanya diperjuangkan oleh lembaga konsumen dan Departemen Perdagangan, tetapi adanya tekanan di lembaga keuangan internasional (IMF/International Monetary Fund). Berdasarkan desakan dari IMF itulah akhirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat dibentuk. Keberadaan Undang-undang Perlindunga Konsumen merupakansimbol kebangkitan hak-hak sipil masyarakat, sebab hak konsumen pada dasarnya juga adalah hak-hak sipil masyarakat. Undang-undang Perlindungan Konsumen juga merupakan penjabaran lebih detail dari hak asasi manusia, khususnya hak ekonomi. 
          Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mulai berlaku sejak tanggal 20 April 2000. Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, walaupun judulnya mengenai perlindungan konsumen tetepi materinya lebih banyak membahas mengenai pelaku usaha dengan tujuan melindungi konsumen. Hal ini disebabkan pada umumnya kerugian yang diderita oleh konsumen merupakan akibatperilaku dari pelaku usaha, sehingga perlu diatur agar tidak merugikan konsumen. 
          Hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen merupakan dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasannya. Az Nasution berpendapat bahwa ,”Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen”. Sedangkan “Hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak atau satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa di dalam pergaulan hidup.
          Awal terbentuknya Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang disepakati oleh DPR pada (tanggal 30 Maret 1999) dan disahkan Presiden RI pada tanggal 20 April 1999 (LN No. 42 Tahun 1999). Berbagai usaha dengan memakan waktu, tenaga dan pikiran yang banyak telag dijalankan berbagai pihak yang berkaitn dengan pembentukan hukum dan perlindungan konsumen. Baik dari kalangan pemerintah, lembaga-lembaga swadaya masyarakat. YLKI, bersama-sama dengan perguruan-perguruan tinggi yang merasa terpanggil untuk mewujudkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini. Berbagai kegiatan tersebut berbentuk pembahasan ilmiah/non ilmiah, seminar-seminar, penyusunan naskah-naskah penelitian, pengkajian naskah akademik Rancangan Undang-Undang (Perlindungan Konsumen).
Kegiatan yang dibahas dalam acara pertemuan tersebut ,yakni:
a. pembahasan masalah Perlindungan Konsumen (dari sudut ekonomi oleh Bakir Hasan dan dari sudut hukum ooleh Az. Nasution) dalam Seminar Kelima Pusat Study Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Indonesia (tanggal 15-16 Desember 1975) sampai dengan penyelesaian akhir Undang-Undang ini pada tanggal20April1999.
b. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI, Penelitian tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia (tahun 1979-1980).
c. BPHN – Departemen Kehakiman, Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan Konsumen (tahun 1980-1981).
d. Yayasan Lwmbaga Konsumen Indonesia, Perlindunga Konsumen Indonesia, suatu sumbangan pemikiran tentang rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen(tahun1981).
e. Departemen Perdagangan RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, RUU tentang Perlidungan Konsumen (tahun 1997).
f. DPR RI, RUU Usul Inisiatif DPR tentang Undang-Undang Perlindunga Konsumen (tahun1998).

       Salah satu pokok kesimpulan seminar Kelima Universitas Indonesia tersebut berbunyi “Agaknya dalam kerangka ini mutlak perlu suatu Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dan seharusnya Undang-Undang ini memberikann perlindungan pada masyarakat konsumen.” Akhirnya, didukung oleh perkembangan politik dan ekonomi di Indonesia (1997-1999), semua kegiatan tersebut berujung disetujuinya UU Tentang Perlindungan Konsumen yang terdiri dari 15 Bab dan 65 pasal dan mulai berlaku efektif sejak 20 April 2000.Ternyata dibutuhkan waktu 25 tahun sejak gagasan awal hingga Undang-Undang ini dikumandangkan(1975-2000).

     Dalam Undang-undang perlindungan konsumen terdapat atau terkandung sejumlah asas, perlindungan konsumen ini diselenggarakan sebagai usaha bersama seluruh pihak yang terkait, masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah yang bertumpu pada lima asas seperti yang terdapat dalam pasal 2 Undang-Undang PerlindunganKonsumen Nomor 8 Tahun 1999 yaitu :
1. asas manfaat, dimaksud untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh masyarakat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan pada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannyasecaraadil.
3. Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang digunakan.
5. Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar baik pelaku maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Dalam perkembangannya Undang –undang Perlindungan konsumen mempunyai segi positive dan Negativ ,yakni:
-.  Segi Positive
1. Dengan adanya Undang-Undang ini maka hubungan hukum dan masalah-masalah yang berkaitan dengan konsumen dan penyedia barang dan/atau jasa dapatditanggulangi.
2. Kedudukan konsumen dan penyedia barang dan/atau jasa adalah sama dihadapanhukum.
-. Segi Negatif
1. Pengertian dan istilah yang digunakan di dalam peraturan perundang- undangan yang ada tidak selalu sesuai dengan kebutuhan konsumen dan perlindungan konsumen.
2. Kedudukan hukum antara konsumen dan penyedia produk (pengusaha) jadi tidak berarti apa-apa, karena posisi konsumen tidak seimbang, lemah dalam pendidikan, ekonomis dan dayatawar,dibandingkan dengan pengusaha penyedia produk konsumen.
3. Prosedur dan biaya pencarian keadilannya, belum mudah, cepat dan
biayanya murah sebagaimana dikehendaki perundang-undangan yang
berlaku.


BAB I
P E N D A H U L U A N

1. Latar Belakang
Berawal dari keprihatinan akan banyaknya kasus yang merugikan kepentingan konsumen serta didukung oleh ketidakberdayaan konsumen, maka kehadiran produk perundang-undangan untuk melindungi kepentingan konsumen sangat diperlukan. Pemerintah, DPR, dan sejumlah lembaga yang memberikan perhatian kepada perlindungan konsumen kemudian berupaya untuk merumuskan produk hukum yang memberikan perlindungan yang memadai kepada konsumen di Indonesia. Pada akhirnya lahirlah UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang disahkan pada tanggal 20 April 1999, dan mulai efektif setahun setelahnya (20 April 2000). 
Akhir-akhir ini kasus perlindungan konsumen semakin mendapatkan perhatian luas oleh masyarakat. Salah satu kasus yang menghebohkan adalah kasus Prita Mulyasari Versus RS Omni Internasional yang bermula dari pelayanan yang buruk oleh RS Omni Internasional kepada Prita, yang kemudian mengakibatkan Prita ditahan oleh aparat berwenang karena melakukan pencemaran nama baik melalui media elektronik. Tidak hanya sektor jasa, sektor penyediaan produk (barang) pun tidak lepas dari kasus-kasus perlindungan konsumen.
Dalam rangka memberantas dan menertibkan peredaran produk obat-obatan dan makanan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) secara rutin melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam ruang lingkup kewenangannya. Pada tahun 2002, telah dilakukan penyelidikan dan penyidikan kepada 1578 kasus pelanggaran, tahun 2003 terhadap 2671 kasus, dan pada tahun 2004 terhadap 1694 kasus.  Evaluasi yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebutkan bahwa selama tahun 2004, bidang pengaduan YLKI menerima 457 pengaduan konsumen (melalui surat dan datang langsung). Dari banyaknya kasus tersebut, sepuluh besar komoditas yang diadukan ke YLKI berturut-turut adalah bidang perumahan 76 pengaduan, listrik 67 pengaduan, PDAM 66 pengaduan, jasa telekomunikasi 54 pengaduan, bank 38 pengaduan, produk elektronik 24 pengaduan, jasa transportasi 19 pengaduan, asuransi 18 pengaduan, leasing 15 pengaduan, produk makanan/minuman 10 pengaduan. Pusat data YLKI mencatat kasus keracunan makanan di Indonesia sepanjang tahu 2004 lebih dari 53 kejadian, dengan korban lebih dari 2.000 orang, baik yang dirawat di rumah sakit maupun tidak.

2. Perumusan Masalah
Memperhatikan banyaknya korban yang diakibatkan oleh praktek-praktek curang pelaku usaha, muncul pertanyaan: jenis gugatan manakah yang cocok untuk mengadili pelaku usaha, yang oleh karena pelanggaran yang dilakukannya dalam penyediaan barang dan/atau jasa, telah menimbulkan korban  masal di pihak konsumen? Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan sejumlah alternatif penyelesaian masalah perlindungan konsumen, yaitu melalui mekanisme penyelesaian di luar pengadilan, dan mekanisme penyelesaian di dalam pengadilan. Khusus penyelesaian sengketa melalui pengadilan tersedia alternatif gugatan secara perorangan, class action, dan legal standing. Makalah kecil ini merupakan suatu kajian hukum atas mekanisme gugatan class action dan legal standing atas kasus perlindungan konsumen menurut Undang-undang Perlindungan konsumen.


BAB II
P E M B A H A S A N
Dalam upayanya untuk menuntut keadilan konsumen memiliki sejumlah alternatif penyelesaian masalah, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Salah satu cara penyelesaian masalah perlindungan konsumen di luar pengadilan adalah melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Menurut pasal 49 ayat 1 (satu) Undang-undang Perlindungan Konsumen, pemerintah membentuk BPSK di tingkat II untuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan. BPSK menjalankan fungsinya sebagai mediator, konsiliator,  dan arbiter berdasarkan pasal 49, pasal 50, dan pasal 54 ayat 1 (satu) Undang-undang Perlindungan Konsumen jo. Pasal 2 Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 350/MPP/Kep/12/2001tanggal 10 Desemeber 2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK. Pasal 4 ayat 2 (dua) SK Memperindag ini mengatur bahwa penyelesaian sengketa oleh BPSK ini didasarkan pada pilihan bebas para pihak.
Dalam rangka menuntut keadilan di hadapan pengadilan atas kerugian yang diakibatkan oleh pelaku usaha, tersedia tiga cara menggugat bagi konsumen, yaitu 1) konsumen menggugat sendiri secara langsung ke pengadilan, b) menggugat secara class action, dan 3) menggugat secara legal standing. Sebagaimana diuraikan di atas, makalah ini merupakan suatu penjelasan atas gugatan secara class action dan legal standing. Di kalangan praktisi hukum, acapkali kedua istilah ini membingungkan atau masih dipahami secara keliru. Secara pribadi penulis merasa penting untuk memberikan perhatian khusus kepada dua model gugatan ini mengingat adanya kekeliruan pandangan mengenai dua jenis gugatan yang jelas berbeda tersebut.

1. Class Action
Class action dikenal juga dengan istilah gugatan perwakilan kelompok. Terdapat sejumlah definisi mengenai class action, yang berbeda dalam hal perumusan tetapi memiliki esensi yang sama. Sejumlah ahli hukum Indonesia memberikan rumusan atas Class Action sebagai berikut.

Menurut Mas Achmad Santosa class action (gugatan perwakilan) merupakan prosedur beracara dalam perkara perdata yang memberikan hak prosedural bagi satu atau sejumlah orang (jumlah yang tidak banyak) bertindak sebagai penggugat untuk memperjuangkan kepentingan ratusan, ribuan atau jutaan orang lainnya yang mengalami kesamaan penderitaan atau kerugian. Seseoramnh atau sejumlah orang yang tampil sebagai penggugat disebut sebagai wakil kelas (representative class), sedangkan sejumlah orang banyak yang diwakilinya disebut dengan class members. 

Az. Nasution pun memberikan pengertian dan persyaratan mengenai class action. Menurutnya, gugatan kelompok (class action) yang dapat diadili oleh Pengadilan adalah gugatan yang: (a) penggugatnya berjumlah besar, sehingga tidak praktis apabila digunakan secara perkara biasa, (b) seorang atau beberapa orang dari kelompok itu mengajukan gugatannya sebagai perwakilan, (c) terdapat masalah hukum dan fakta gugatan atau perlawanan bersama, dan (d) wakil yang bersidang harus mampu mempertahankan kepentingan kelompok. 

Erman Rajagukguk, dkk., memberikan pengertian mengenai class action sebagai suatu cara yang diberikan kepada sekelompok orang yang mempunyai kepentingan dalam suatu masalah yang sama, baik seorang atau lebih anggotanya menggugat atau digugat sebagai perwakilan kelompok tanpa setiap anggota kelompoknya terlibat secara langsung dalam proses peradilan. Selain itu ada juga yang memberikan pengertian gugatan perwakilan (class action) sebagai suatu metode atau cara bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan yang sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien dan seseorang yang akan turut serta dalam gugatan perwakilan (class actions) harus memberikan persetujuan kepada perwakilan. Lebih lanjut Erman Rajagukguk, dkk., menyatakan bahwa keterlibatan pengadilan dalam gugatan class action sangatlah besar. Setiap perwakilan, untuk maju ke pengadilan, harus mendapat persetujuan dari Pengadilan dengan memperhatikan: a) class action merupakan tindakan yang paling baik untuk mengajukan gugatan; b) mempunyai kesamaan tipe tuntutan yang sama; c) penggugatnya sangat banyak; dan d) perwakilan layak/patut. 
Ketentuan mengenai class action di dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen terdapat di dalam pasal 46 ayat 1 (satu) huruf b. Pasal 46 mengatur bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh: 
1. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
2. kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
3. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk     4. badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
Pasal 45 ayat 2 (dua) Undang-undang Perlindungan Konsumen menentukan bahwa mekanisme penyelesaian sengketa dapat dipilih secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa, yaitu melalui melalui pengadilan atau di luar pengadilan (alternatif). Akan tetapi, seandainya penyelesaian sengketa di luar pengadilan masih belum ditemukan titik temu oleh salah satu pihak atau keduabelah pihak, maka gugatan melalui pengadilan dapat ditempuh.
Untuk melaksanakan hukum material sebagaimana dirumuskan di atas, telah dikeluarkan hukum formal dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Ketentuan Hukum Acara Perdata lainnya tetapi berlaku, selain daripada apa yang telah diatur di dalam PERMA ini (pasal 10).

2. Legal Standing
Legal standing seringkali disebut juga sebagai hak gugatan organisasi (ius standi). Standing secara luas dapat diartikan sebagai akses orang perorangan, kelompok/organisasi di pengadilan sebagai Pihak Penggugat. Legal standing, Standing to Sue, Ius Standi, Locus Standi dapat diartikan sebagai hak seseorang, sekelompok orang atau organisasi untuk tampil di pengadilan sebagai penggugat dalam proses gugatan perdata (Civil Proceding) 
Secara konvensional hak gugat hanya bersumber pada prinsip “tiada gugatan tanpa kepentingan hukum” (point d’interest point d’action). Kepentingan hukum (legal interest) yang dimaksud di sini adalah kepentingan yang berkaitan dengan kepemilikan (propietary interest) atau kepentingan material berupa kerugian yang dialami secara langsung (injury in fact). Perkembangan hukum konsep hak gugat konvensional berkembang secara pesat seiring pula dengan perkembangan hukum yang menyangkut hajad hidup orang banyak (public interest law) di mana seorang atau sekelompok orang atau organisasi dapat bertindak sebagai penggugat walaupun tidak memiliki kepentingan hukum secara langsung, tetapi dengan didasari oleh suatu kebutuhan untuk memperjuangkan kepentingan, masyarakat luas atas pelanggaran hak-hak publik seperti lingkungan hidup, perlindungan konsumen, hak-hak sipil dan politik.
Salah satu kasus terkait legal standing yang mendapatkan perhatian luas oleh masyarakat adalah gugatan legal standing lima Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terhadap perusahaan rokok, media massa, dan biro iklan yang dituduh melakukan pelanggaran jam tayang di televisi dan memuat gambar rokok/bungkus rokok di media cetak. Lima LSM tersebut antara lain: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Yayasan Jantung Indonesia (YJI), Yayasan Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (YLM3), Yayasan Wanita Indonesia Tanpa Tembakau (YWITT), dan Yayasan Kanker Indonesia (YKI). Namun, gugatan ditolak majelis hakim karena memiliki bukti-bukti yang lemah. Sekalipun demikian, para penggugat kemudian mengajukan banding. 
Eksistensi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam mendorong perkembangan perlindungan konsumen diakui oleh Undang-undang Perlindungan Konsumen. Pasal 44 ayat 1 (satu) Undang-undang Perlindungan Konsumen mengatur bahwa,“Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.” Pasal 44 ayat 2 (dua) Undang-undang Perlindungan Konsumen membebani tugas kepada LSM untuk:
menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehatihatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;
membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
Hak untuk melakukan gugatan legal standing di dalam sengketa perlindungan konsumen diatur di dalam pasal 46 ayat 1 (satu) c, dengan ketentuan bahwa lembaga swadaya yang melakukan gugatan tersebut adalah lembaga swadaya yang:

berbentuk badan hukum / yayasan;
dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk keperluan perlindungan kosumen, dan
telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan  anggaran dasarnya.
Hukum acara dalam gugatan legal standing mengacu kepada Hukum Acara Perdata yang berlaku. Proses pertama yang dilakukan oleh majelis hakim dalam persidangan ini adalah mencoba memeriksa kelengkapan administrasi baik itu penggugat maupun tergugat berkenaan dengan surat kuasa maupun surat ijin (advokat) serta melakukan pengecekan secara cermat apakah semua penggugat (kuasanya) dan Tergugat (kuasanya) sudah hadir pada persidangan, jika belum lengkap maka majelis hakim akan menunda sidang untuk memangil kembali seluruh pihak, termasuk yang tidak hadir dipanggil kembali untuk menghadap pada hari dan waktu yang ditetapkan dalam persidangan pertama. Jika pada sidang kedua hal yang sama berlaku maka persidangan ditunda kemabli, baru pada pemanggilan ketiga ada para pihak tidak hadir maka proses persidangan dilanjutkan (sudah dipanggil secara patut). Setelah tahapan ini, maka proses beracara akan dilanjutkan dengan penetapan, perdamaian, pembacaan gugatan (eksepsi, replik, duplik), putusan sela, pemeriksaan alat bukti, kesimpulan, dan putusan.

3. Perbedaan Class Action dan Legal Standing
Dari uraian mengenai class action dan legal stading di atas, terdapat perbedaan prinsipil di antara keduanya, antara lain:
Dalam gugatan perwakilan (class action) :

a. seluruh anggota kelas (class representatives dan class members) sama-sama langsung mengalami atau menderita suatu kerugian,
b. tuntutannya dapat  berupa ganti kerugian berupa uang (monetary damage) dan/atau tuntutan pencegahan (remedy) atau tuntutan berupa perintah pengadilan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (injunction) yang sifatnya deklaratif.
Dalam hak gugatan organisasi (legal standing):
a. organisasi tersebut tidak mengalami kerugian langsung; kerugian dalam konteks gugatan organisasi (legal standing) lebih dilandasi suatu pengertian kerugian yang bersifat publik.
b. tuntutan organisasi (legal standing) tidak dapat berupa ganti kerugian berupa uang, kecuali ganti kerugian yang telah dikeluarkan organisasi untuk penanggulangannya objek yang dipermasalahkannya dan tuntutannya hanya berupa permintaan pemulihan (remedy) atau tuntutan berupa perintah pengadilan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (injunction) yang bersifat deklaratif.
Di berbagai belahan dunia telah berkembang pula gagasan mengenai Hak Gugat Warga Negara (citizen law suit). Gugatancitizen law suit merupakan gugatan untuk memperjuangkan kepentingan publik karena negara tidak melakukan kewajibannya untuk melindungi hak-hak asasi warga negaranya. Dalam jenis gugatan ini, warga negara yang mengajukan gugatan tidak perlu membuktikan dirinya sebagai pihak yang memiliki kepentingan hukum atau pihak yang mengalami kerugian ril.
Untuk lebih jelas memahami class action, legal standing, dan juga citizen law suit, penulis menampilkan sebuah tabel, sebagai berikut.

BAB III
P E N U T U P
Filosofi yang melatarbelakangi terbentuknya Undang-undang perlindungan konsumen adalah bahwa konsumen pada umumnya berada pada posisi yang lemah di hadapan para pelaku usaha, dan oleh sebab  itu maka ia harus dilindungi dari tindakan kesewenangan pelaku usaha. Akhir-akhir ini korban yang muncul dari praktek usaha yang tidak sehat semakin meningkat. Para korban tidak hanya menderita secara fisik, tetapi ada juga yang harus kehilangan nyawanya. Kesemberonohan dalam praktek usaha yang tidak sehat harus diatur, dan kepentingan korban (konsumen) harus dilindungi/dibela.
Terhadap kasus-kasus terkait perlindungan konsumen, Undang-undang Perlindungan Konsumen menyediakan sejumlah alternatif penyelesaian. Alternatif penyelesaian sengketa dimaksud dapat ditempuh melalui jalur pengadilan atau di luar pengadilan. Mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat ditempuh melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang dipilih secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa melalui BPSK berbentuk mediasi dan konsiliasi, dan arbitrase. Manakala penyelesaian masalah melalui BPSK menemukan jalan buntu, maka penyelesaian atas masalah tersebut dapat dilakukan di pengadilan, setelah disepakati oleh salah satu atau kedua belah pihak yang bersengketa.
Para pihak dapat memilih untuk menyelesaikan sengketanya di pengadilan umum. Gugatan atas kasus perlindungan konsumen melalui pengadilan dapat ditempuh melalui tiga cara yaitu, a) menggugat sendiri secara langsung, b) menggugat secara class action, dan c) menggugat secara legal standing. Kedua mekanisme gugatan terakhir, yaitu class action dan legal standing, acapkali dipahami secara keliru. Gugatan class action adalah gugatan oleh seseorang atau sejumlah orang mengatasnamakan kelompok yang merasa dirugikan oleh objek sengketa yang sama. Sedangkan gugatan legal standing adalah gugatan oleh lembaga yang memiliki keprihatinan kepada isu perlindungan konsumen. Lembaga swadaya masyarakat yang melakukan gugatan legal standing bermaksud agar pemerintah mengubah kebijakan-kebijakannya yang dinilai merugikan kepentingan konsumen. Selain ketiga jenis gugatan tersebut di atas, ada juga gugatan yang dikenal sebagai gugatan civil lawsuit, yaitu gugatan oleh seseorang atau sekelompok warga negara karena negara dianggap tidak sanggup melindungi kepentingan warga negaranya.

0 comments:

Post a Comment

Copyright © 2014 Belajar Hukum