Tuesday 13 January 2015

Dasar Hukum Pengangkatan Anak




       a)    Menurut Hukum Islam
Hukum Islam hanya mengakui, bahkan menganjurkan, pengangkatan anak dalam arti pemungutan dan pemeliharaan anak dalam artian status kekerabatannya tetap berada di luar lingkungan keluarga orang tua angkatnya dan dengan sendirinya tidak mempunyai akibat hukum apa-apa. Ia tetap anak dan kerabat orang tua kandungnya, berikut dengan segala akibat hukumnya. Larangan pengangkatan anak dalam arti benar-benar dijadikan anak kandung berdasarkan firman Allah S.W.T dalam Surah Al-Ahzab ayat 4-5. Syariat Islam telah mengharamkan at-tabbani (pengangkatan anak) yang menisbatkan seorang anak angkat kepada yang bukan bapaknya, dan hal itu termasuk dosa besar yang mewajibkan pelakunya mendapat murka dan kutukan Allah S.W.T sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah SAW dalam hadist      Riwayat Bukhari bahwa, “Barang siapa yang memanggil (mendakwakan) dirinya sebagai anak dari seseorang yang bukan ayahnya, maka kepadanya ditimpakan laknat Allah S.W.T para malaikat dan manusia seluruhnya. Kelak pada hari kiamat Allah S.W.T tidak menerima darinya amalan-amalan-nya dan kesaksiannya”.

Aspek hukum menasabkan anak angkat kepada orag tua angkatnya, atau yang memutuskan hubungan nasab dengan orang tuanya untuk dimasukkan ke dalam klan nasab orang tua angkatnya, adalah yang paling mendapat kritikan dari islam, karena sangat bertentangan dengan ajaran islam. Hadist yang diriwayatkan oleh imam Muslim, juga oleh imam Bukhari, Rasulullah S.A.W pernah meyatakan bahwa, “tidak seorang pun yang mengakui (membanggakan diri) kepada bukan ayah yang sebenarnya, sedang ia mengetahui bahwa itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur. Dan barang siapa bukan dari kalangan kami (kalangan kaum muslim), dan hendaklah dia menyiapkan sendiri tempatnya dalam api neraka”.

       b)    Menurut Perundang-Undangan
Pengamatan Mahkamah Agung menghasilkan kesimpulan bahwa pemohon pengesahan dan/ atau pengangkatan anak yang diajukan ke Pengadilan Negeri tampak kian bertambah, baik yang merupakan permohonan khusus pengesahan/ pengangkatan anak yang menunjukkan adanya perubahan, pergeseran, dan variasi-variasi pada motivasinya. (Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan. 2008:204). Belum ada pengaturan Undang-Undang yang mengatur secara khusus tetang anak angkat, namun pengangkatan anak diatur secara sepintas dalam:
  
  1. Undang-Undang Nomor 4 (empat) Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak;
  2. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 (dua) Tahun 1979 Perihal Pengangkatan Anak;
  3. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 (enam) Tahun 1983 tentang Penyempurnaan       Surat Edaran Nomor 2 (dua) Tahun 1979;
  4. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 (empat) Tahun 1989 tentang Pengangkatan Anak;
  5. Keputusan Menteri Sosial Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang perizinan  Pengangkatan anak yang dapat menyelenggarakan usaha pengangkatan hanya organisasi sosial (KEPMEN tahun 1984), sedangkan yang dapat diangkat adalah:
  •  Anak Indonesia/ WNI (Warga Negara Indonesia) diangkat oleh WNA (Warga Negara  Asing);
  •  Anak Indonesia/ WNA (Warga Negara Asing) diangkat oleh WNI (Warga Negara Indonesia), dan
  • Anak asing/ WNA (Warga Negara Asing) diangkat oleh WNI (Warga Negara Indonesia) mereka berada dalam asuhan organisasi sosial atau dibawah asuhan wali/ orang tua kandung.


            6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

            7. Staatsblad 1917 Nomor 129, Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 mengatur masalah adopsi                 yang merupakan kelengkapan dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)/             Burgerlijk Wetboek yang ada, dan khusus berlaku bagi golongan masyarakat keturunan                 Tionghoa;

           8. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA) Nomor 3 Tahun 2005 tentang                 Pengangkatan Anak, berlaku mulai 8 Februari 2005;

           9.   Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7                   Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan


          10.   Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung dan putusan pengadilan yang telah                                      berkekuatan hukum tetap, yang dalam praktik peradilan telah diikuti oleh hakim-hakim                        berikutnya dalam memutuskan atau menetapkan perkara yang sama, secara berulang-                          ulang, dalam waktu yang lama sampai sekarang. 
Copyright © 2014 Belajar Hukum