Sunday 21 December 2014

Upaya Hukum Terhadap Putusan Hakim



Pengertian upaya hukum terdapat dalam Pasal 1 ayat (12) KUHAP yaitu: “Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur-dalam undang-undang ini.”

KUHAP membedakan upaya hukum menjadi dua macam yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa diatur dalam Bab XVII dan upaya hukum luar biasa diatur dalam bab XVIII KUHAP.

a. Upaya hukum biasa
1) Perlawanan (verzet)
Perlawanan ( verzet ) merupakan upaya hukum biasa terhadap putusan hakim yang dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa atau kuasa hukumnya. Dimana putusan hakim tersebut berupa putusan yang merampas kemerdekaan terdakwa. Ketentuan mengenai upaya hukum perlawanan ini dapat ditemukan dalam Pasal 214 ayat (4) sampai dengan ayat (8) KUHAP. Jangka waktu untuk melakukan perlawanan tersebut adalah (7) tujuh hari semenjak putusan tersebut diberitahukan kepada terdakwa secara sah. Dengan adanya perlawanan tersebut maka putusan hakim yang dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa atau kuasa hukumnya menjadi gugur. Selanjutnya hakim akan menetapkan hari sidang untuk memeriksa kembali perkara tersebut. Dan apabila setelah dilakukan pemeriksaan kembali ternyata putusan hakim adalah tetap sama seperti putusan saat tidak hadirnya terdakwa sebelumnya maka terdakwa dapat melakukan upaya hukum banding.

2) Banding
Dasar hukum mengenai upaya hukum banding ini terdapat dalam Pasal 67 KUHAP sebagai berikut:
“Terdakwa atau penuntut umum berha untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan acara cepat.”

Berdasarkan Pasal 67 KUHAP tersebut diketahui bahwa upaya banding tidak hanya merupakan hak terdakwa melainkan juga hak dari penuntut umum, dikarenakan ketidakpuasan mereka terhadap putusan dari pengadilan tingkat pertama atau pengadilan negeri. Namun tidak semua putusan pada pengadilan pertama tersebut dapat dibanding karena terdapat pengecualian seperti yang telah disebutkan juga dalam isi Pasal 67 KUHAP tersebut.

Pengecualian tersebut adalah;
a) Putusan bebas (vrijspraak)
b) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang menangkut kurang tepatnya penerapan hukum.
c) Putusan pengadilan dalam acara cepat atau dahulu dengan istilah rol.

Penjelasan diatas yang dapat menimbulkan permasalahan adalah mengenai putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum. Sebab dengan adanya tambahan kalimat menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum tersebut menimbulkan kerancuan karena terasa aneh sebab kekeliruan hakim dalam menerapkan hukum mengapa justru tidak dibolehkan untuk disbanding (Andi Hamzah, 2004 :286).

Upaya hukum banding ini diatur dalam Pasal 233 sampai dengan Pasal 243 KUHAP, Dimana dijelaskan dalam Pasal 233 KUHAP bahwa permohonan banding tersebut diajukan ke pengadilan tinggi oleh terdakwa atau kuasa hukumnya pada penuntut umuim. Dalam jangka waktu (7) tujuh hari sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa permohonan banding tersebut harus sudah diterima oleh panitera pengadilan negeri yang memutus perkara. Pengetahuan tentang jangka waktu pengajuan banding ini sangatlah penting sebab apabila jangka waktunya telah habis maka terdakwa atau statusnya yang kini berubah menjadi terpidana dianggap telah menerima putusan hakim tersebut. Jika demikian halnya maka putusan tersebut menjadi final dan mempunyai kekuatan hukum tetap yang sifatnya mengikat.

Terpidana tidak dapat lagi melakukan upaya hukum biasa hanya bisa dilakukan upaya hukum luar biasa tetapi harus terlebih dahulu dipenuhi alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar permohonan mengapa mengajukan upaya hukum luar biasa.

3) Kasasi
Upaya hukum Kasasi, diatur dalam Pasal 244 sampai dengan Pasal 258 KUHAP. Di dalam Pasal 244 KUHAP disebutkan bahwa:
“Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat akhir oleh pengadilan selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penunut umum dapat mengajukan permintaan kasasi
kepada Mahkamah Agung kecuali putusan bebas.”
Pasal tersebut diketahui bahwa kecuali putusan bebas maka semua putusan yang diberikan pada tingkat akhir selain dari Mahkamah Agung dapat dimintakan kasasi.

Permohonan kasasi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 244 KUHAP tersebut harus disampaikan kepada panitera di pengadilan negeri yang memutus perkaranya dalam tempo 14 hari semenjak putusan yang dimintakan kasasinya tersebut diberitahukan kepada terdakwa. 

Apabila dalam jangka waktu 14 hari tersebut terpidana tidak meminta kasasi maka dianggap telah
menerima putusan tersebut sehingga putusan tersebut menjadi mengikat dan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pada asasnya kasasi didasarkan pada pertimbangan bahwa telah terjadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan kehakimannya. Melampaui kekuasaan kehakiman tersebut dapat ditafsirkan secara sempit mapun secara luas. Jika ditafsirkan secara sempit seperti pendapat D. Simons yang dikutip Andi Hamzah yaitu apabila hakim memutus suatu perkara padahal hakim tidak berwenang menurut kekuasaan kehakiman. Sedangkan dalam arti luas apabila hakim pengadilan tinggi memutus padahal hakim pada tingkat pertama telah membebaskannya. Adapun alasan mengenai kasasi ini secara singkat telah disebutkan dalam Pasal 153 ayat (1) KUHAP yaitu:

Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 KUHAP untuk menentukan:
a) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tapi tidak sebagaimana mestinya.
b) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan dalam undang-undang.
c) Apakah benar pengadilan telah melampui batas wewenangnya.

Alasan-alasan atau dasar untuk kasasi harus dikemukakan atau disampaikan oleh pemohon kasasi tersebut yang dimuatnya dalam sebuah memori kasasi. Memori kasasi tersebut harus sudah diserahkan kepada panitera pengadilan yang memutus perkara tersebut selambat-lambatnya adalah 14 hari setelah permohonan kasasi diajukan. Konsekuensi dari keterlambatan penyerahan memori kasasi tersebut mengakibatkan permohonan kasasinya menjadi gugur sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 248 ayat (4). Tembusan dari memori kasasi oleh panitera akan disampaikan kepada pihak lain yang menjadi lawan dalam perkara tersebut dan pihak lawan tersebut berhak untuk membuat kontra memori kasasi dan menyampaikannya kepada panitera. Sifat dari kontra memori kasasi adalah tidak wajib tapi merupakan hak dari pihak lawan, jadi boleh dibuat juga boleh tidak dibuat.

b. Upaya hukum luar biasa
Upaya hukum luar biasa ini dalam Bab XVIII dari Pasal 259 sampai dengan Pasal 269 KUHAP. Upaya hukum luar biasa ini terdiri atas kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

1) Kasasi Demi Kepentingan Umum Pasal 259 ayat (1) KUHAP disebutkan “Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan selain daripada Mahkamah Agung dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh Jaksa Agung.” Cukup jelas dari bunyi pasal tersebut bahwa upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum ini hanya diperuntukan bagi kejaksaan. Namun KUHAP tak menjelaskan lebih lanjut tentang perkara yang bagaimana dan alasan apa yang dikemukakan oleh Jaksa Agung untuk mengajukan suatu permohonan kasasi demi kepentingan hukum. Ternyata pembuat undang-undang bermaksud menyerahkan permasalahan tersebut kepada pertimbangan Jaksa Agung sendiri (Andi Hamzah, 2004 :297). Permohonan kasasi demi kepentingan hukum ini disampaikan secara tertulis oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung melalui panitera pengadilan yang
telah memutus perkara tersebut, disertai dengan risalah yang memuat alasan permintaan itu.

2) Peninjauan Kembali
Sebelum KUHAP diberlakukan di Indonesia belum ada ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelaksanaan peninjauan kembali terhadap putusan dalam perkara pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pada awal mulanya dikeluarkan suatu peraturan Mahkamah Agung Nomor. 1 Tahun 1969 tertanggal 19 Juli 1969, dimana dengan peraturan tersebut memungkinkan diajukan permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Namun sayangnya dengan munculnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 18 Tahun 1969 tertanggal 23 Juli 1969 maka peraturan MA No. 1 tahun 1969 tersebut menjadi tertunda dengan alasan masih diperlukan peraturan lebih lanjut mengenai biaya perkara yang memerlukan persetujuan menteri keuangan. Sampai akhirnya dikeluarkan kembali Peraturan MA No. 1 Tahun 1971 yang isinya mencabut Peraturan MA No. 1 Tahun 1969 hal itu akhirnya melenyapkan harapan akan adanya upaya hukum peninjauan kembali itu sendiri. Akibatnya terjadi kekosongan hukum tentang masalah peninjauan kembali terhadap putusan perkara pidana yang sudah in krach.

0 comments:

Post a Comment

Copyright © 2014 Belajar Hukum